Pedestrian Jl. Nyi Raja Permas

Oleh: eP

IMG-20121221-WA0001

Mungkin sedikit dari warga Bogor yang tahu siapa itu Nyi Raja Permas. Dari sedikit itu, mungkin pengguna jasa kereta rel listrik Bogor yang paling akrab dengan Nyi Raja Permas, karena Stasiun Bogor berdiri tepat di sisi Jl. Nyi Raja Permas. Nyi Raja Permas sendiri adalah ibunda dari pahlawan pendidikan Dewi Sartika. Nama yang juga diabadikan sebagai nama jalan tepat bersejajar dengan Jl. Nyi Raja Permas di sebelah timurnya.

Jl. Nyi Raja Permas yang kita kenal sebelumnya adalah jalan yang padat aktivitas. Selain pusat mobilitas penumpang kereta menuju Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan Sukabumi, jalan ini juga merupakan salah satu akses utama menuju Pasar Anyar, salah satu pasar terbesar di Bogor. Lalu lintas angkutan umum pun sempat dialihkan melalui jalan kecil tersebut, karena adanya larangan bagi angkutan umum untuk melintas di depan Balai Kota. Bertambah pikuk dengan kerumunan pedagang kaki lima di pinggir jalan.

Terhitung sejak bulan Oktober 2012, wajah Jl. Nyi Raja Permas berubah. Siapa yang menyangka jalan ini menjadi sasaran Kementerian Perhubungan untuk membuat pedestrian percontohan nasional. Proyek yang disebut-sebut didanai 1,7 triliun ini diharapkan dapat mengakomodir kenyamanan para pejalan kaki yang banyak melintas menuju atau dari Stasiun Bogor.

Baru pada tanggal 20 Desember 2012 lalu, saya menyempatkan diri melihat lebih teliti tampilan baru Jl. Nyi Raja Permas ini. Lampu-lampu taman dipasang berjajar rapi, diselang-seling dengan tanaman yang masih perlu waktu untuk jadi rimbun, jalan dipasangi batuan andesit menjadi poin penting untuk saya karena berarti tidak ada lagi genangan air. Di salah satu sisinya dipasang spanduk-spanduk poster  dengan gambar berbagai landmark Bogor di masa lalu. Sangat Menarik perhatian para pejalan kaki yang melintas.

IMG-20121221-WA0007

Di ujung jalan, dipasang barikade pembatas. Mungkin maksudnya supaya motor tidak masuk. Namun sepertinya tidak tercapai tujuannya, karena masih banyak motor -bahkan becak- yang lalu lalang dan parkir di area ini.

parkir motor

 

Di pagar sepanjang jalan, terpasang spanduk “Bogor Berjalan Kaki, Bisa!!”, menurut saya menjadi kampanye yang paradoks. Mengingat Bogor adalah green city, kota hijau, hijau yang berasal dari warna ribuan angkot. Ribuan angkot yang bisa ada karena izinnya di keluarkan oleh Pemerintah Kota Bogor. Ribuan angkot yang justru membuat tidak nyaman para pejalan kaki.

IMG-20121221-WA0004

 

Banyak sekali spanduk yang bisa ditemui di jalan ini. Selain spanduk-spanduk di atas, saya juga menemukan spanduk “Area Bebas Pedagang Kaki Lima”, dengan ancaman kurungan 3 bulan atau denda maksimal 50 juta rupiah.

IMG-20121221-WA0003

 

Sepertinya gertakan ini tidak cukup efektif. Di sepanjang jalan, masih saja berjajar gerobak ayam goreng sukabumi, donat, martabak, bahkan warung-warung kecil yang berjualan bakso atau mie ayam, termasuk untuk mangkal gerobak lontong padang favorit saya di pagi hari.

IMG-20121221-WA0000

 

Saya yakin, semuanya perlu waktu. Juga untuk merapikan jalan ini demi menjadi pedestrian percontohan nasional. Saya hanya berharap, pemerintah kota tidak “merapikan” pedagang kaki lima, ojek, atau becak yang menggantungkan hidup sejak dulu berusaha di sepanjang jalan ini tanpa memberi solusi. Semoga saja cita-cita Kementerian Perhubungan ini terwujud. Jl. Nyi Raja Permas menjadi seruas jalan yang nyaman, tempat mungkin sepasang kekasih berjalan berdua menikmati hujan.

Cerita dari Penjual Martabak Dekat Stasiun

Sekitar awal 2010, saya sempat wawancara salah satu tukang martabak yang berjejer di dekat stasiun, yang dekat Jembatan Merah itu loh. Tapi baru ditulis sekarang, hehe. Saya lupa nama tukang martabak yang saya ajak wawancara, tapi saya ingat dia masih muda (sekitar 30 tahun), kumisan, tampangnya sangar (tapi ternyata bikin ketawa melulu).

Ini hasil wawancaranya dengan sedikit penyuntingan:

Iqbal (I) : Gak takut kesaing? Kan di sini ada 20-an tukang martabak?
Tukang Martabak (TM) : Wah 20 lebih. Gak takut ah, kan masing-masing ada langganan. Banyak yang cuma mau beli di situ aja. Biasanya langganan karena enak, bukan karena kenal.
I : Yang paling rame mana?
TM : Rata sih ya. Kayaknya sini sih.
I
: Haha. Di sini buka jam berapa?
TM
: Biasanya setengah empat sore. Tutupnya mah tergantung. Biasanya jam 1 itu masih ada. Jam 3 subuh itu baru gak ada sisa.
I
: Biasanya sehari laku berapa?
TM
: Sepuluh kilo lah, itu dapat sekitar 80 martabak. Satunya dijual tujuh ribu. Yang keju tiga belas ribu. Biasanya yang banyak mesen sih yang kacang, yang tujuh ribu itu.
I
: Kalau siangnya ngapain mas?
TM
: Ya siap-siap.
I
: Ini gerobaknya bawa dari rumah?
TM
: Nitip belakang sini.
I
: Udah brp lama di sini mas?
TM
: 10 tahun lah. Sendiri aja, gak pake asisten.
I
: Gak coba martabak telur? Susah ya?
TM
: Ah enggak. Ini saya punya roti bakar nih di sebelah, cuma belum buka.
I
: Enaknya jd tukang martabak apa sih?
TM
: Banyak duitnya, serius. Hehe.
I
: Emang sehari bersihnya berapa mas?
TM
: Pe go (Rp 150.000) lah
I
: Wih gila. Empat juta lebih dong sebulan?
TM
: Ya iya. Tapi gak kaya kaya. Malah kaya monyet.
I
: Enak ya, duitnya banyak.
TM
: Makanya besok jualan martabak, jangan wawancara.
More

Pasang Reklame di Bogor, Bebas Ya?

Salah satu hal yang bisa ditemui di banyak kota di Indonesia (termasuk Bogor) adalah reklame yang terpampang di mana-mana. Reklame ini mulai dari yang kecil-kecil seukuran kertas HVS sampai billboard berlampu yang ukurannya selebar jalan raya. Kabarnya, reklame ini jadi salah satu sumber pemasukan utama untuk Pemerintah Kota Bogor. Nggak heran ya, bila jalanan semakin ramai dengan spanduk dan billboard bermacam ukuran.

Merhatiin nggak, betapa sekeliling kita riuh dengan reklame berbagai ukuran, jenis dan warna? Dari sekian reklame itu, seberapa persen sih yang berada di tempat seharusnya dan mana yang asal tempel aja?

Poster yg Berderet-deret

 


Di tepi jembatan

Saya jadi bertanya-tanya soal ini terutama sejak semakin seringnya melihat poster Dica Aqiqah -yang rasanya lama-lama makin gampang ditemukan di mana-mana. Ini salah satu contoh yang saya temukan, poster Dica Aqiqah yang berderet pada tembok sebuah bangunan di Jembatan Merah. Kali ini saya ingin bertanya, mungkin anda tahu. Bagaimana sih aturan pemasangan reklame yang berupa poster di Bogor? Apakah penempelan poster tidak memerlukan izin khusus? Apakah ada pajak untuknya?

Could you please enlighten me? 🙂
(nonadita)

Gerbong Khusus Perempuan: Sebuah Ironi?

Awalnya mungkin ide gerbong khusus perempuan di KRL adalah sebuah angin segar bagi srikandi-srikandi commuter Bogor yang bekerja di Jakarta atau Depok. Namun faktanya, ternyata gerbong-gerbong ini terkadang justru menjadi “pembenaran” atas diskrimansi gender.

Tidak jarang terdengar celetukan penumpang pria yang setengah mengusir perempuan-perempuan yang ada di gerbong reguler untuk masuk ke gerbong khusus perempuan. Kesalahan pengambilan konklusi bahwa “negasi dari benar akan selalu salah” membuat mereka berpikir bahwa penumpang perempuan harusnya ada dan hanya ada di gerbong khusus perempuan.

Dulu di Amerika Serikat apapun selalu dibagi menjadi dua label, “White” dan “Colored”. Sampai akhirnya Martin Luther King Jr. berhasil membuat penyetaraan bagi kaum kulit hitam khususnya dan semua ras minoritas lain pada umumnya di Amerika Serikat. Lantas, apakah gerbong khusus perempuan ini adalah sebuah langkah mundur karena justru memberi jalan untuk sikap diskriminatif.

Seorang teman yang termasuk dalam golongan feminis pernah bilang ke saya,

“Gue paling benci kalo lagi berdiri di bus ato kereta terus gue ditawarin tempat duduk sama mas-mas. Apa karena gue cewek, terus gue dianggep gak mampu berdiri apa?”

Sebagai penutup, tulisan ini bukan dihadirkan untuk memihak pada status pro atau kontra. Tulisan ini hanya sekedar menghadirkan realita yang ada. Realita bahwa sebuah kebijakan yang dimaksudkan untuk sesuatu yang baik ternyata tidak selamanya bisa dipahami dengan baik.

Dunkin Stasiun Perbolehkan Penumpang Duduk Tanpa Beli

Sudah lama sebetulnya saya mau tahu apa pendapat pengelola Dunkin Donuts yang ada di Stasiun Bogor tentang pengunjung yang hanya duduk-duduk saja tanpa membeli. Seperti yang kita ketahui bersama, kursi Dunkin Donuts Stasiun Bogor tidak hanya berada di dalam restorannya, tapi juga di luar yang itu berada di wilayah tunggu penumpang kereta. Banyak penumpang yang memilih duduk di kursi milik Dunkin Donuts tersebut tanpa membeli produknya, mungkin karena kursinya yang nyaman atau memang karena kursi tunggu sudah tidak ada yang kosong. Saya temui Pak Syarif, Store Manager-nya. Ia menyambut dengan baik dan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan ramah:

Iqbal: Gimana tentang orang-orang yang suka duduk di depan situ yang itu kan haknya Dunkin?

DD: Itu kan membantu penumpang buat duduk. Selain itu, kita lihat, alangkah baiknya penumpang duduk kita tawarkan (menu Dunkin). Orang mau duduk silakan walaupun gak pesan. Jadi, duduk di situ gak harus pesan. Kru saya selalu diajarkan sopan santun, “Pak, sambil nunggu kereta mungkin Bapak mau pesan.”

Iqbal: Tapi maaf ni Pak, ada keluhan, kru Dunkin agak judes, jadi dia seakan-akan maksa yang duduk buat beli?

DD: Saya dari dulu tekankan ke kru, kalau penumpang mau duduk silakan. Mungkin karena mood kerjanya sedang tidak baik. Tapi saya selalu tekankan kerja professional.

Iqbal: Tapi kalau ada pengunjung yang beli Dunkin, lalu kursinya penuh, kan dia punya hak duduk?

DD: Ya kita ngomong baik-baik ke pengunjung yang tidak beli, karena itu fasilitas punya kita. Sebenarnya dengan adanya kursi itu kan kita membantu penumpang. Dari segi kebersihan juga kan kita jaga, kita sapu.

Iqbal: Jadi, kalau orang datang duduk di kursi luar itu, lalu petugas kasih menu, orang yang duduk di situ menolak untuk pesan itu boleh ya?

DD: Boleh. Yang saya tekankan seperti itu ke anak-anak. Gak masalah. Tapi akan didahulukan orang yang pesan Dunkin kalau dia kehabisan tempat duduk.

Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Bogor

Perokok di Stasiun Bogor

Sampai kapan bisa bebas begini?

Sampai kapan bebas merokok?

Kabarnya, mulai awal Mei 2010 ini Pemerintah Kota Bogor akan menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di beberapa lokasi. Tentu ini kabar bagus buat saya yang nggak demen merokok, baik aktif maupun pasif. Dengan adanya peraturan ini, orang-orang yang tidak merokok mestinya bisa menikmati udara yang lebih bersih di tempat-tempat yang masuk dalam kategori KTR.

KTR diterapkan di tempat-tempat berkumpulnya orang-orang. Misalnya: kantor, pusat perbelanjaan, sekolahan & tempat ibadah. Tentu karena di tempat-tempat inilah terjadi persinggungan antara perokok & non perokok. Saya lihat kampus BSI di Jalan Merdeka sudah memasang tanda KTR, semoga pelaksanaannya sesuai harapan.

Idealnya, ruang khusus perokok juga dihapuskan saja supaya ruang gerak perokok semakin terbatas. Hahahahaha… *ketawa kejam* Eh tapi kabarnya memang sempat ada rencana demikian, karena ada seorang pejabat pemerintah yang ingin Bogor tidak setengah-setengah dalam upaya mengurangi konsumsi rokok.

Tapi tentu ide ini penuh pro & kontra. Keberadaan ruang khusus perokok adalah pemenuhan hak azasi orang yang memilih untuk menjadi perokok, jadi tidak bisa dihapuskan begitu saja. Dengan demikian, perokok masih mendapat kesempatan untuk “merusak paru-parunya” tanpa melanggar peraturan.

More

tutup tahun, waktunya ganti ini-itu!

kata orang, akhir tahun adalah saat bagi instansi pemerintahan menghabiskan anggaran. sebab jika tidak habis, kemungkinan besar anggaran untuk instansi tersebut di tahun mendatang akan dipotong. karena proyek yang dibuat kemudian tujuan utamanya hanya untuk menghabiskan anggaran, maka terkadang proyek yang dijalankan terkesan mubazir dan tidak tepat sasaran.

apakah proyek peremajaan pembatas jalan di sepanjang jalan padjadjaran ini termasuk kategori tersebut? sepanjang pengamatan, pembatas jalan yang ada masih baik-baik saja untuk dipertahankan. lantas mengapa harus diganti?

Ironi Masyarakat Rantau

Tentang memajukan bangsa ini, ya, di dalam hati kami, masyarakat rantau, masih ada keinginan itu, walaupun letaknya agak sedikit di belakang lambung kami. Ada yang mengatakan, salah satu bukti konkretnya adalah dengan ikut serta dalam Pemilu.

Oke, kami mengerti urutan sambung-menyambung antara ikut serta mengisi kotak suara dengan kemajuan Bangsa ini. Namun, bagaimana kalau kesempatan itu tidak ada atau ada tapi sulit untuk digapai?

Sepertinya itulah yang terjadi saat ini. Kami terancam tidak bisa berpartisipasi dalam Pemilu legislative yang sepertinya seru sekali itu karena kami tidak memiliki KTP daerah tempat kami tinggal saat ini. Untuk membuat KTP di daerah tempat kami tinggal sementara, salah satu syaratnya adalah menghapuskan identitas kami di daerah asal. Maaf, sepertinya agak sulit kalau tidak langsung ada contoh kasus.

Sebutlah Arifka Yusri, seorang mahasiswa rantau asal Aceh yang kuliah di Bogor. Hampir empat tahun sudah ia tinggal di Bogor. Tidak pernah sekalipun ia masuk bilik suara. Empat tahun! Padahal undang-undang kita memperbolehkan WNA menjadi WNI hanya dengan tinggal selama enam bulan saja di Indonesia.

Untuk mendapatkan KTP Bogor, ia harus menghanguskan KTP Acehnya. Padahal, itu tidak mungkin karena Arifka hanya berniat kuliah di Bogor, belum tentu menetap.

Yang lebih membuat ironi itu lebih tebal lagi adalah, segala macam proses pencoblosan sampai penghitungan surat suara dilakukan di tempat Arifka tinggal, di asrama Mahasiswa Aceh Leuser, di salah satu sudut daerah Dramaga, Bogor. Karena asrama yang ia tinggali mempunyai tempat yang cukup lapang, maka pengurus RT setempat berkehendak menjadikan ruang tengah asrama Leuser sebagai TPS. Segala macam pemilihan dilakukan di Leuser, baik pilpres, pilgub, maupun pemilihan walikota.

Jadi, pemilihan dilakukan di tempat yang tidak ada satupun orang pemilik tempat itu yang diberikan hak pilih. Begitulah keadaannya. Arifka sudah terbiasa dengan hal tersebut. Terbiasa dibatasi ruang geraknya ketika ada Pemilu. Terbiasa dilarang melewati tali rafia merah yang dibentangkan di sekeliling ruang pemilihan yang juga merupakan tempat tinggalnya bertahun-tahun. Terbiasa memperhatikan setiap garis yang dicoret pada saat penghitungan suara dengan kesadaran sepenuhnya bahwa tidak ada satu garis pun yang berasal darinya. Terbiasa untuk berkomentar di belakang tanpa diberikan kesempatan berpartisipasi aktif. Terbiasa melihat perpolitikan Aceh di layar kaca tanpa bisa ikut dalam pemilihan apapun di Aceh. Ya, kami terbiasa akan hal tersebut.

Ekspansi Trans Pakuan

Halte Trans Pakuan di Pajajaran menuju Ciawi sudah rampung

Halte Trans Pakuan di Pajajaran menuju Ciawi sudah rampung

Trans Pakuan selalu seru untuk dibahas. Saya sebagai konsumen tentunya senang dengan adanya kotak abu-abu berbahan jelantah ini. Tapi bagaimana dengan pesaingnya? Angkutan yang rutenya sama dengan kotak ini? Tanpa ditanyakan pun, saya sudah tahu tanggapannya pasti negatif. Untuk memastikan, saya tanya ke supir angkot 03 tentang keberadaan kotak tersebut. Memang negative.

Satu waktu saya ke ciawi naik angkot 01. Sang supir saya ajak ngobrol tentang transpakuan yang katanya mau ekspansi jalur, persis sama dengan jalur 01, baranang siang-ciawi. Lagi-lagi muka cemberut yang keluar.

Keputusan memang harus diambil. Mungkin Pemkot Bogor menggebu-gebu dalam membangun trans pakuan dalam rangka memperkecil kemacetan dan menghilangkan cap kota sejuta angkot. Itu bagus menurut saya. Ada lagi yang didapat selain dua hal di atas. Ekonomi biaya tinggi akan berkurang. Karena tidak ada calo yang mengutip “uang keamanan” kepada supir transpakuan baik di pool maupun di sepanjang perjalanannya.

Sampai sekarang, sudah dibangun dengan rapi beberapa halte sepanjang jalur yang akan dibuka itu. Halte utamanya, di Br.Siang, juga sudah hampir rampung diperluas. Kata beberapa supir, jalur baru ini akan diaktifkan awal januari 2009. Semoga lancar (ini doa dari saya, bukan supir 01).

Penjatahan Bahan Bakar Minyak Bisa Berhasil di BOGOR

Pemerintah dapat menangkap permasalahan utama yang ada di masyarakat indonesia terkait dengan semakin tingginya harga minyak dunia.Permasalahan kita adalah KITA TERLALU BOROS.

Sebuah solusi kemudian digulirkan oleh pemerintah, yaitu penjatahan penggunaan bahan bakar minyak oleh kendaraan pribadi. Pro dan kontra adalah suatu hal yang biasa ketika sebuah wacana digulirkan. Pers pun meminta pendapat masyarakat umum pengguna kendaraan pribadi. Umumnya masyarakat merasa keberatan dengan solusi macam ini, karena mereka hanya dijatah sebanyak lima liter/hari yang tidak sebanding dengan kebutuhan mereka.

Sebenarnya solusi seperti ini memiliki sisi positif, yaitu dapat membuat masyarakat umum lebih tertarik menggunakan kendaraan umum ketimbang kendaraan pribadi. Tetapi keluhan kemudian muncul lagi. Kendaraan umum yang ada saat ini tidaklah memadai dan tidak cukup nyaman.

Alasan terakhir muncul ke permukaan karena yang dimintai pendapat kebanyakan hanyalah orang-orang di Jakarta yang notabene akses mereka untuk disuarakan pendapatnya amat besar.

Model solusi pemerintah ini sebenernya sangat mungkin diterapkan di BOGOR. Kemacetan kota BOGOR yang sedianya menyalahkan angkutan umum justru dapat dijadikan solusi. Penjatahan bahan bakar minyak pada kendaraan pribadi dapat membuat sebagian orang BOGOR mulai berpikir untuk menggunakan angkutan umum tanpa ada alasan mengeluhkan ketidaknyamanan dan keterbatasan angkutan umum yang ada.

Secara kasar, jika model ini dapat berhasil, maka BOGOR dapat mengambil beberapa keuntungan:

  1. Penggunaan bahan bakar minyak (bensin dan solar) menjadi lebih hemat.
  2. Kendaraan yang berseliweran di jalanan berkurang (terutama kendaraan pribadi), sehingga mengurangi beban jalan.
  3. Semakin sedikit kendaraan di jalan, maka semakin sedikit polusi yang bertebaran di udara BOGOR.
  4. Dapat meningkatkan pendapatan sopir-sopir angkot yang ada di BOGOR.

Gak perlu selalu resist dengan solusi yang dateng dari mulut pemerintah kan? (ara)